Bangka Belitung, – Proyek pembangunan gedung laboratorium yang dilaksanakan oleh PT Maharani Citra Persada Indonesia dengan nilai kontrak lebih dari Rp 10 miliar kini menjadi sorotan. Proyek yang didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dengan nomor kontrak 921/018/SPK/BLKPK/2024, dijadwalkan rampung dalam 150 hari kalender. Namun, dugaan kelalaian dalam penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) mencuat ke permukaan, menimbulkan keprihatinan terkait kondisi di lapangan.
Berdasarkan pantauan langsung tim Journal di lokasi proyek, terlihat sebagian pekerja tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) sesuai standar. Kondisi ini sangat disayangkan, apalagi pihak pelaksana proyek sudah menyadari adanya pelanggaran namun terkesan melakukan pembiaran. Ketidakpatuhan ini menimbulkan pertanyaan serius terhadap kinerja tenaga ahli K3, konsultan pengawas, dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek. _Sabtu (07/09/24) pagi._
Lebih lanjut, diketahui bahwa proyek ini adalah bangunan bertingkat, dan beberapa pekerja belum memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) di bidang konstruksi. Dalam pantauan, sejumlah pekerja di lantai dua tidak menggunakan alat pengaman seperti full body harness, padahal bekerja di ketinggian sangat berisiko terhadap kecelakaan kerja. Pengawasan yang dilakukan oleh pihak K3 dan konsultan juga dinilai kurang tegas dalam menindak pelanggaran, memperkuat dugaan adanya kelalaian yang disengaja.
Saat diwawancarai, Toni, selaku kepala pelaksana proyek, menyatakan bahwa pihaknya melakukan briefing setiap pagi sebelum pekerjaan dimulai, dan tenaga ahli K3 yang ditunjuk telah bersertifikasi madya. Namun, dia juga mengakui bahwa sebagian besar pekerja, terutama tukang, belum memiliki SKK konstruksi.
“Ke depannya, kami akan mengajukan agar mereka bisa mengikuti pelatihan untuk mendapatkan sertifikasi tersebut,” ujar Toni.
Toni juga menanggapi keluhan tentang pekerja yang tidak memakai helm di lokasi proyek. Menurutnya, beberapa pekerja mengeluhkan rasa panas dan kesulitan saat bekerja di ketinggian jika harus memakai helm.
“Tenaga ahli K3 kami sudah bersertifikasi madya, namun memang para tukang belum memiliki SKK. Mengenai helm, banyak pekerja yang merasa kepanasan saat bekerja di atas sehingga sulit untuk selalu memakai helm,” jelasnya.
Situasi ini jelas menimbulkan keprihatinan, terutama terkait keselamatan para pekerja yang tidak menggunakan perlengkapan APD sesuai standar dan masih minimnya pengawasan yang ketat. K3 seharusnya menjadi prioritas dalam proyek sebesar ini, mengingat resiko yang dihadapi para pekerja di lapangan sangat tinggi. Keterlibatan pihak-pihak terkait dalam memastikan pelaksanaan standar keselamatan menjadi sangat penting untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja di lokasi proyek.
Proyek gedung laboratorium ini diharapkan menjadi contoh penerapan standar K3 yang baik dan sesuai dengan regulasi, namun fakta di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Ke depan, perlu adanya perbaikan dalam hal pengawasan serta kepatuhan terhadap aturan keselamatan kerja demi menjamin keselamatan dan kesehatan para pekerja yang terlibat dalam proyek tersebut.
(Tim Journal)